Sampah-sampah Putih Di Antara Nyanyian Langit
Sepintas mengeja wajah dalam dengung gelisah. Matahari malas bersinar, bulan tertutup awan. Sementara gelegar-gelegar halilintar tak cuma sekali menyambar. Tanah ini sesak bunyi. Kadang nyaring, sumbang dan memekakkan. Meski bosan, telinga-telinga dipaksa mendengar. Bosan itu, semakin jelas. Tapi langit terlihat geming–tak peduli, tak ada yang lebih penting, selain memperkenalkan diri. “Inilah aku. Aku yang harus kau tahu”, ucapnya setiap waktu, di layar-layar kaca dan layar yang bertebaran di jalan, selaksa pengemis butuh pengakuan atas diri yang sedang ber-onani.
Di antara corak visi, sorot mataku–menatap baleho dari kedai seberang jalan, membaca janji yang tak pasti terpenuhi. Sebagian, ada yang menutupi rambu-rambu, bahkan rambu untuk dirinya sendiri. Wajah-wajah yang terpampang begitu manis, semanis larik kata di sampingnya. Perubahan itu, masih mendominasi tawaran. Meski berkesan kuno, rasanya terlalu munafik–jika penghuni tanah ini tak berharap. Namun fakta; dari waktu ke waktu, hanya ada waktu untuk menunggu. Menunggu, menunggu dan menunggu, itulah waktu yang berlaku. Sementara, waktu tak pernah menunggu ketika janji selalu diputar kembali. Dan waktu terus berlalu, berjingkat semakin dekat, menuju waktu yang tak menentu, tanpa penentuan jitu.
Dari dipan bambu reyot ini, satu kupandang, kutimbang di antara sekian banyak yang terbuang, sebab suatu pilihan adalah sebuah jalan untuk menentukan. Lantas, apakah ini fanatik? “Mungkin, iya…”, dan itu jauh lebih baik dari pada menjadi munafik, lamis, mengemis, sekedar jadi bakal tumbal–dalam beberapa tahun ke depan.
Ya, hanya pilihan-lah yang menentukan, bukan tebusan pemilih untuk berongkang-ongkang pikiran. “Barangkali teramat bodoh–jika manusia tak memiliki pilihan. Jika ada yang demikian, wong edan pasti lebih mulia”, gumamku di balik sumpalan tempe goreng yang kasar terkunyah gigi-gigi keropos, mungkin sekeropos mental para peng-iklan musiman, ketika kita salah mengantar duduk di kursi nanti. Sekali lagi, hanya pilihan yang menentukan dan harus memilih, cuma itu yang diperlukan tanah ini untuk bisa kita nikmati. Sementara golput tak ubahnya sampah mengendap yang harus diuaraikan, dan netral tak selamanya menjadi penengah di puncak kebijakan.